Rabb, . . . rinduku kembali mengetuk-ngetuk pintu, padahal bunyi ketukan
sebelumnya masih keras terdengar. Adakah kecepatan kelebatan rinduku ini lebih
besar dari kecepatan cahaya ?
Beningnya adalah lukisan dari gambar yang sengaja
ku cari, . . . heningnya adalah siraman yang kubutuhkan kala kemarau melanda
seluruh diri, . . . indahnya membelai sanubari, riuh rendah semarakkan tanahku.
Rabb, . . . rindu ini
terus menggebu, menanti tibanya waktu. Ketika aku boleh melihatnya tanpa bosan,
ketika aku telah berhak untuk selalu menyertainya menemukan jawaban-jawaban
atas berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyan tentang laut biru yang luas
perkasa, tentang awan putih berarak di langit senja, tentang rindu di jiwa,
tentang surga di ujung masa, dan tentang surga yang Engkau sisipkan di antara
keringat dunia.
Adakah segera tiba
waktu untukku ? Adakah ia. . .
Anisha untukku ?
“Rasa” ini adalah
dari-Mu untukku. Biarlah ia tumbuh seperti seharusnya, di sini, di kedalaman
jiwa ini. Sejuk seperti pagi, jernih seperti embun di atas dedaunan yang lalu
jatuh membasahi bumi, . . . ketika para penghuninya menyambut hari yang baru
lagi, di bawah siraman cahaya mentari, di dekat tepi.
0 komentar:
Posting Komentar